Senin, 29 Juni 2020

siroh Nabawiyah / kisah Rasulullah bag. 9

Siroh Nabawiyah

*KISAH ROSULULLOH ﷺ*

*Bagian 9* 🤲🏻🕋🤲🏻

اَللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سيدنامُحَمَّدٍ وَ عَلَى آلِ سيدنا مُحَمد

*Pernikahan Abdulloh dengan Aminah*

Alloh sudah menentukan bahwa jodoh yang paling tepat untuk Abdulloh adalah Aminah binti Wahb. Aminah adalah gadis yang paling baik keturunan dan kedudukannya di kalangan suku Quraisy.

Musim semi tahun 570 Masehi pun tiba. Batang-batang gandum di Yaman tumbuh menjulang tinggi. Dedaunan kurma di kota Tha'if kembali bersemi. Sementara itu, padang-padang rumput dipenuhi harum bunga-bunga yang tumbuh di kebun-kebun.

Bagi penduduk Mekah, musim semi adalah tanda kebebasan dan dimulainya lagi perdagangan musim panas ke Syria. Abdulloh pun berniat pergi musim ini.

"Kanda, sebenarnya hatiku sangat berat melepas kepergianmu. Entah mengapa hatiku diliputi kekhawatiran dan kegelisahan. Aku bahkan berharap dapat menemukan suatu alasan untuk menahan kepergianmu," keluh Aminah kepada suaminya.

Abdulloh tersenyum menentramkan, "Hatiku pun terasa tertinggal di sini, Dinda. Aku tahu begitu besar rasa sayangmu kepadaku sehingga engkau berharap dapat terus berada di sisiku."

"Bukan cuma itu, damai rasanya berada di sampingmu, Kanda."

Abdulloh mengangguk, "Tetapi Dinda, kini di dalam perutmu ada bayi kita. Kau tahu aku adalah pemuda tak berada. Saat ini, kita hanya mempunyai lima ekor kambing perah. Selain itu, tak ada lagi kekayaan yang dapat menghidupi kita berdua selain sedikit kurma dan daging kering. Karena itu, inilah saatnya bagiku untuk pergi berniaga dan menambah penghasilan kita."

Aminah terpaksa mengangguk menerima kenyataan itu. Ia memandang kepergian Abdulloh dengan sendu, seolah itu adalah detik-detik terakhir ia dapat melihat wajah suaminya.

 *Hamzah bin Abdul Mutholib*

Pada hari pernikahan Abdulloh dengan Aminah, Abdul Mutholib pun menikahi sepupunya yang bernama Hala. Dari perkawinan ini, lahirlah Hamzah, paman Rasululloh yang seusia dengan beliau.

 *Abdulloh Meninggal*

Bersama kafilah dagang, Abdulloh tiba di Gaza. Kemudian, dalam perjalanan pulang, ia singgah di Yatsrib. Di sana, ia tinggal bersama saudara-saudara ibunya. Namun, ketika kawan-kawannya dari Mekah hendak mengajaknya pulang, Abdulloh jatuh sakit.

"Rasanya, aku takkan kuat menempuh perjalanan pulang," kata Abdulloh kepada kawan-kawannya. "Kalian berangkatlah dan sampaikan pesan kepada ayahku bahwa aku jatuh sakit."

Kawan-kawannya mengangguk, "Akan kami sampaikan pesanmu. Baik-baiklah engkau di sini."

Kafilah Mekah pun beranjak pulang. Ketika tiba di rumah, mereka menyampaikan pesan Abdulloh kepada Abdul Mutholib.

"Harits!" panggil Abdul Mutholib kepada putra sulungnya. "Pergilah ke Yatsrib. Lihatlah keadaan adikmu. Jika sudah sembuh, jemputlah ia pulang."

Harits pun segera berangkat. Ketika tiba di rumah paman-pamannya di Yatsrib, yang ditemuinya adalah wajah-wajah duka.

"Abdulloh telah meninggal," kata mereka kepadanya, "mari, kami antar engkau ke pusaranya."

Harits pun menyampaikan berita sedih itu ke Mekah. Melelehlah air mata di pipi Abdul Mutholib. Namun, kesedihan yang paling berat dirasakan oleh Aminah. Apalagi di saat itu ia tengah menantikan kelahiran bayinya.

"Selamat jalan, Kanda," isak Aminah, "hilanglah seluruh kebahagiaan hidupku bersamamu. Kini, tinggallah aku yang hidup untuk membesarkan bayi kita."

Tidak lama lagi, bayi Aminah akan lahir. Bayi yang kelak ditakdirkan Alloh menjadi orang besar yang mengubah jalannya sejarah dunia.

 *Peninggalan Abdulloh*

Saat meninggal, Abdulloh meninggalkan lima ekor unta, sekelompok ternak kambing, dan seorang budak perempuan bernama Ummu Aiman yang kelak menjadi pengasuh Rasululloh. Nama aslinya adalah Barokah. Ia berasal dari Habasyah.

Bersambung

-

Tidak ada komentar: